Oleh: Aminullah Yasin (Mudir Departemen Pendidikan Pesantren Al-Andalus)

Pondok pesantren bukan sekedar lembaga yang mengajarkan ilmu, namun tempat pembinaan karakter, mental, keimanan dan ketakwaan. Hal inilah yang menjadikan banyak sekali kyai dan ustadz pengelola pesantren memandang bahwa ditengah pandemi sekalipun, pesantren harus tetap buka menyelenggarakan pendidikannya.
Pandemi yang telah berlangsung hampir satu tahun ini benar-benar membawa dampak tidak menyenangkan bagi banyak pihak. Di bidang pendidikan, dampak paling nyatanya adalah kemerosotan ilmu dan juga amal, tentunya.

Dunia internet yang merupakan tempat “keburukan tak bertepi” -meskipun banyak hal bermanfaat didalamnya-, benar-benar merupakan petaka bagi banyak santri pondok pesantren yang menjalankan proses pendidikan melalui PJJ. Tidak dipungkiri, pengendalian diri anak didik kita masih kurang, ditambah ketidaksiapan para orang tua dalam mendidik selama proses PJJ ini. Terkadang (bahkan banyak kasus), orang tua tidak memiliki kesempatan mendampingi anak-anaknya PJJ, karena mereka harus berangkat keluar rumah mencari nafkah, mungkin banyak juga orang tua yang merintis usaha baru setelah mengalami PHK atau usaha lama yang macet akibat pandemi.

Saat ini kita berada pada kondisi yang tingkat kompleksitasnya sangat tinggi… Hampir-hampir saja tidak dapat kita bedakan mana yang shalih dan mana yang ashlah, mana yang syarr dan mana yang asyarr (minhu).
Baiklah, mari kita jawab bersama… Apa pendapat anda tentang masuk pondok ditengah pandemi?

Saya yakin, tidak ada satupun pengelola pondok pesantren yang dapat menjamin bahwa lingkungan pesantrennya aman dari corona. Apalagi kebanyakan pondok pesantren notabennya jauh dari kata “standar” dalam hal infrastruktur dan lainnya… Tentu saja, karena pondok pesantren bukan rumah sakit, bukan pula perusahaan bonafit. Pondok pesantren hanya tempat sederhana yang mengajarkan kesederhanaan untuk kehidupan yang penuh dengan kemuliaan. Hidup mulia atau mati syahid!

Do’a pun tidak dapat menghalau virus corona masuk, jika Allah telah takdirkan. Bukankah kita sudah saksikan banyak ulama yang terpapar virus ini bahkan sebagiannya menjadi sebab terpanggilnya mereka ke kehidupan yang abadi, kematian. Do’a mereka tentu lebih manjur daripada do’a kita yang bergelimang dosa… Namun tahukah kita bahwa syariat kita selalu memerintahkan agar meminta kebaikan dibalik kejadian apapun, atau berlindung dari keburukan dibalik kejadian apapun:

أعوذ بكلمات الله التامة من شر ماخلق

“Aku berlindung dengan nama-nama Allah yang sempurna dari keburukan makhluk-Nya.”

Coba renungkan sejenak… Arti dari “min syarri maa kholaq”, do’a tersebut tidak meminta perlindungan dari makhluk, namun dari “keburukan” makhluk… Sehingga jika kita sudah rutinkan do’a ini, kemudian –laa qoddarullah– kita terpapar virus corona, maka Allah akan jadikan sakitnya kita sebagai sakit yang membawa kebaikan, menggugurkan dosa, mengangkat derajat, dan semoga jika meninggal akibat virus tsb dapat tergolong kedalam para syuhadaa’… Orang-orang yang mati syahid. Bukankah ini adalah kebaikan? Kembali lagi ke pertanyaan, Apa pendapat anda tentang masuk pondok ditengah pandemi?
Sebagian ulama mengatakan, “aku heran kepada orang-orang yang menangisi kematian raga, namun tidak pernah menangisi kematian hati”.

Nyawa harus kita jaga, namun asupan hati berupa ilmu, amal dan iman juga harus terus diberikan. Para santri butuh akan itu. Jika orang tua mampu terus mendidik putra-putrinya di rumah dengan pendidikan rohani yang mencukupi, maka itu adalah satu hal yang ideal. Bagaimana jika tidak mampu? Akankah kita rela membiarkan anak-anak hidup sehat raganya namun rapuh hatinya?
Ini tentang sinergi, kerjasama yang baik harus terus berlangsung… Bukan suatu hal yang pragmatis, ketika pesantren tetap melangsungkan pembelajaran tatap muka.

Di dalam pesantren, para kyai dan ustadz tinggal bersama anak-anak dan istri-istri mereka… Tentu hal yang aneh jika pesantren tidak menyiapkan protokol kesehatan –sesuai dengan kadar kemampuan– diiringi dengan do’a-do’a agar –tidak hanya– para santri tidak terpapar keburukan virus ini, termasuk juga keluarga mereka sendiri.

Jika protokol sudah disiapkan, aturan ketertiban dijalankan, do’a – do’a dipanjatkan… Maka tidak ada lagi daya dan upaya selain kita memasrahkan kepada Al-Aliy Al-Qodiir.

لا حول ولا قوة إلا بالله

“Tidak ada daya dan kekuatan kecuali milik Allah”

رَّبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ

“Wahai Tuhan Kami, kepada Engkau kami berpasrah diri (tawakkal), dan kepada Engkau kami bertaubat, dan kepada Engkau pula kami akan kembali…”

Jika saya ditanya: apakah setuju pondok pesantren tetap buka ditengah pandemi? Saya lebih memilih menjawab “iya, setuju”.

Lalu bagaimana jika santri terpapar virus corona didalam pesantren? Secara implisit, jawaban saya ada pada tulisan ini. Namun mari kita balik bertanya, jika anda adalah orang tua yang menyekolahkan anak di Pesantren, anda merasa perlu bersinergi dengan pesantren dalam membimbing anak anda dalam keimanan mereka, Pesantren telah berupaya menerapkan protokol sesuai dengan kemampuan mereka, namun ternyata anak anda telah Allah tetapkan dalam lauhul mahfuzh akan terpapar virus corona didalam pesantren. Apa reaksi anda?.(*)

Sumber : https://pesantren-alandalus.com/2021/01/06/jika-terpapar-virus-corona-saat-menuntut-ilmu